Langsung ke konten utama

Fantasi Seksual Pada Remaja

PENDAHULUAN 

Sebuah artikel di situs BKKBN online tahun 2010 menyinggung mengenai pentingnya pemberian pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja sedini mungkin, sebagai upaya pencegahan dalam menghadapi fantasi seksual yang rentan terhadap penyimpangan. Pernyataan yang terdapat dalam artikel singkat tersebut terasa menggelitik. Fantasi seksual diposisikan sebagai penyebab dari penyimpangan dalam perilaku seksual. Bahkan hal ini kemudian mengingatkan saya pada Freud (1908/1962), yang pernah menyatakan "A happy person never fantasizes, only a dissatisfied one." Benarkah demikian? Kahr (2007) mendefinisikan Fantasi Seksual sebagai sebuah gambaran, bayangan, atau khayalan terperinci yang muncul dalam benak kita terutama pada saat tengah melakukan aktivitas seksual, seperti saat bersenggama ataupun masturbasi, yang seringkali berujung pada orgasme. 

Terkait pernyataan Freud di atas, penelitian lain menunjukkan sebaliknya, yaitu seperti yang diungkapkan oleh Singer (1966) bahwa fantasi seksual justru merefleksikan seksualitas yang sehat, dan merupakan bentuk lain dari stimulasi seksual yang normal dan digunakan untuk meningkatkan gairah dan kenikmatan seksual. Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, Leitenberg dan Henning (1995) kemudian menyimpulkan bahwa individu yang sering berfantasi ternyata lebih sering melakukan hubungan seksual, lebih banyak terlibat dalam berbagai variasi aktivitas seksual, memiliki pasangan yang lebih banyak, dan lebih sering melakukan masturbasi dibandingkan mereka yang tidak atau jarang berfantasi. Lebih lanjut, berfantasi secara lebih sering juga berkontribusi pada munculnya hasrat dan gairah seksual yang lebih besar, orgasme saat senggama, lebih sedikit mengalami masalah seksualitas, dan secara umum berdampak pada kepuasan seksual yang lebih tinggi. 

ISI Para peneliti yang mempelajari fantasi seksual mengatakan bahwa fantasi tersebut mulai muncul secara berkala sejak seseorang memasuki masa remaja, sejalan dengan meningkatnya dorongan dan gairah seksual. Menurut Leitenberg dan Henning (1995) usia rata-rata saat seseorang pertama kali mengalami fantasi seksual adalah antara 11 - 13 tahun. Hal yang memicu munculnya fantasi seksual pertama tersebut cukup beragam. Dalam penelitiannya, Gold dan Gold (1991) meminta partisipan untuk menggambarkan situasi yang menyebabkan mereka mengalami fantasi seksual untuk pertama kalinya. Para wanita umumnya mengatakan bahwa fantasi pertama mereka distimulasi oleh relationship, sementara fantasi seksual pertama pada pria umumnya merupakan respon terhadap stimulus visual. Lima puluh sembilan persen pria dan 39% wanita mengatakan fantasi pertama mereka dipicu karena melihat orang yang mereka sukai, dan 27% pria dan 7% wanita mengatakan fantasi mereka timbul karena melihat orang yang lebih tua dan seksi, seperti guru. Seseorang yang memiliki dorongan seks yang besar kemungkinan akan lebih sering memikirkan seks daripada orang dengan dorongan seks lebih kecil (Baumeister, Catanese, & Vohs, 2001). Penelitian dari Laumann, Gagnon, Michael, dan Michaels (1994) dan Eysenck (1971) menemukan bahwa pria lebih sering memikirkan seks daripada wanita. Penelitian dari Jones dan Barlow (1990) yang mengambil sampel mahasiswa menunjukkan bahwa pria berfantasi atau memikirkan seks sekitar 7.2 kali per hari, sementara wanita 4.5 kali per hari. Hasil penelitian tersebut cukup menarik, bukan karena mengkonfirmasi bahwa pria memang lebih banyak memikirkan seks daripada wanita, namun karena pernyataan bahwa wanita pun ternyata cukup sering juga berfantasi seksual.

 Penelitian tersebut memang tidak dilakukan di Indonesia, akan tetapi cukup menimbulkan pertanyaan apakah hal yang sama juga berlaku pada wanita-wanita di Indonesia. Membicarakan masalah seksualitas di Indonesia terkadang serba salah karena masih terikat dengan pandangan tabu, dimana hal tersebut sebaiknya tidak dibicarakan secara terbuka atau blakblakan. Sebagai seorang wanita, saya terbiasa mendengarkan teman-teman pria saya membicarakan berbagai topik seks dengan ringan saat mereka sedang berkumpul, tetapi hal yang sama tidak berlaku saat saya sedang bersama teman-teman wanita saya. Pembicaraan yang sedikit menyinggung fantasi seksual kadang muncul, misalnya saat tengah membicarakan seorang aktor pria yang memiliki tubuh bagus atau seksi, akan tetapi biasanya pembicaraan langsung terhenti begitu saja karena masih ada perasaan tidak pantas atau risih untuk membicarakannya secara lebih mendalam. 

Wanita seringkali merasa tidak dapat mengungkapkan hasrat dan kepuasan seksualnya secara bebas. Menurut Vance (1989), ada dua konsekuensi yang harus ditanggung oleh wanita jika mereka mengungkapkan hasrat seksualnya, pertama, hal tersebut dapat mengundang situasi berbahaya seperti pemerkosaan, kehamilan, atau pelecehan karena pria cenderung mengartikan ekspresi seksual wanita sebagai ajakan atau 'undangan' untuk melakukan hubungan seksual. Kedua, secara tradisional wanita dianggap sebagai "gate-keepers" dalam hal seksualitas dan bertanggung jawab mengontrol aktivitas seks, sehingga jika wanita mengekspresikan keinginan seksualnya, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa dia tidak menjalankan tanggung jawabnya, dan berarti dia melanggar peran wanita yang telah digariskan secara tradisional. Oleh karena itu, Vance berpendapat bahwa fantasi merupakan area dimana wanita dapat merasa aman dan memiliki privasi untuk menyalurkan hasrat dan mendapatkan kepuasan seksual yang terbebas dari bahaya. Menindaklanjuti pendapat Vance tersebut, hasil penelitian Zurbriggen dan Yost (2004) menunjukkan bahwa dalam fantasinya, pria memikirkan hasrat dan kepuasan seksual pasangan dan juga dirinya sendiri, sementara fantasi seksual wanita hanya berpusat pada hasrat dan kepuasan dirinya sendiri. Byers (1996) mengemukakan bahwa di kehidupan nyata, wanita diharapkan untuk lebih fokus pada keinginan dan kepuasan pasangannya, dibandingkan dirinya sendiri. 

Oleh karena itu, hasil dari penelitian Zurbriggen dan Yost ini dianggap masuk akal, karena dalam ranah fantasi, wanita mungkin memilih untuk lebih mementingkan kebutuhan dirinya sendiri dibandingkan pasangan prianya. Karena wanita lebih jarang membicarakan masalah seksualitasnya, maka lebih sulit untuk mengetahui apa yang ada di pikiran mereka, dan fantasi seperti apa yang biasanya mereka miliki. Dari obrolan sehari-hari, saya lebih bisa menerka bahwa umumnya pria berfantasi melakukan aktivitas seksual dengan wanita-wanita yang secara fisik berpenampilan menarik dan seksi, atau bahkan fantasi mereka melibatkan banyak wanita sekaligus. 

Hal tersebut rupanya didukung juga oleh berbagai penelitian terkait perbedaan gender terhadap konten dari fantasi seksual yang kemudian disimpulkan oleh Leitenberg dan Henning (1995) sebagai berikut: fantasi pria lebih aktif dan fokus pada tubuh wanita dan apa yang ingin mereka lakukan terhadapnya, sementara fantasi wanita lebih pasif dan fokus pada ketertarikan pria terhadap tubuh mereka. Fantasi seksual pria juga lebih fokus pada aktivitas seksual yang eksplisit, tubuh telanjang, dan kepuasan fisik, sementara wanita lebih banyak menggunakan konteks emosional dan percintaan dalam fantasinya. Dibanding wanita, pria lebih menyukai fantasi yang melibatkan lebih dari satu wanita atau group sex. 

Selain itu, dalam fantasinya wanita juga lebih suka berperan submisif (menyerah, patuh pada pasangan), sedangkan pria lebih bersikap dominan. Wendy Maltz, seorang sex therapist dan penulis buku Private Thoughts: Exploring the Power of Women as Sexual Fantasies (dalam Dixit, 2010) mengatakan bahwa ada dua bentuk fantasi, yaitu scripted fantasies dan unscripted fantasies. Dalam scripted fantasies (fantasi yang dialami saat sedang berhubungan seksual atau melamun, dan melibatkan karakter serta bersifat naratif) wanita biasanya menempatkan diri mereka dalam enam peran berikut: 1. The pretty maiden: objek yang diinginkan oleh pihak lain 2. The victim: objek yang dipermalukan atau korban kekerasan 3. The wild woman: pihak yang berinisiatif memulai hubungan seksual 4. The dominatrix: pihak yang lebih berkuasa dibanding pihak lainnya 5. The voyeur: pihak yang melihat atau menonton orang lain melakukan hubungan seksual, dan 6. The beloved: pihak yang memiliki hubungan intim dengan kekasih yang setara Sementara untuk unscripted fantasies sifatnya lebih sekilas - seringkali dipicu oleh objek tertentu di lingkungan - dan lebih fokus pada bayangan atau sensasi dibandingkan karakter atau jalan cerita. 

Pada wanita, fantasi seperti ini lebih menggambarkan ketegangan yang menumpuk dan pelepasannya meniru siklus respon seksual itu sendiri - dan melibatkan gambaran abstrak yang seringkali tidak bersifat seksual sama sekali (contoh: membayangkan bunga yang mekar dan mengeluarkan bau harum). Satu tema yang cukup umum atau menjadi favorit dalam fantasi seksual wanita adalah yang disebut dengan forceful sexual fantasy, identik dengan peran submisif dimana wanita sebagai pihak yang tidak berdaya dan harus mengikuti keinginan pasangan dalam melakukan aktivitas seksual (Pelletier & Herold, Strassberg & Lockerd dalam Shulman & Horne, 2006). Bentuk fantasi seperti ini tidaklah berbahaya, karena penelitian menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara fantasi yang bersifat submisif dengan perilaku di dunia nyata (contoh: keinginan untuk diperkosa) (Zurbriggen & Yost, 2004). Dalam penelitiannya, mereka menemukan tidak ada kaitan antara fantasi submisif pada wanita dengan konstruk lain seperti rape acceptance, negativity toward women, dan belief in hostility between men and women. Bahkan Gold et al. (1991) mengatakan bahwa wanita yang memiliki fantasi semacam ini memiliki sikap yang lebih positif terhadap seks secara umum dibandingkan wanita yang tidak memiliki fantasi tersebut. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa forced-sex fantasies tidak selalu mengindikasikan bahwa wanita yang bersangkutan pernah mengalami kekerasan di masa lalunya.
 PENUTUP 
Tidak semua orang merasa nyaman membicarakan fantasi yang dimilikinya, bahkan kepada pasangannya sendiri. Salah satu temuan yang diperoleh dari British Sexual Fantasy Research Project menunjukkan bahwa kebanyakan orang dewasa tidak pernah menceritakan fantasi mereka kepada orang lain, sebagian karena malu, dan sebagian lagi karena besarnya perasaan bersalah yang dirasakan karena kebanyakan fantasi-fantasi tersebut melibatkan orang lain selain pasangannya sendiri (Kahr, 2007). Meskipun begitu, sebagian orang memutuskan untuk mewujudkan fantasi tersebut dan menjadikannya bagian dari aktivitas seksualnya bersama pasangan (Nelson dalam Crooks & Baur, 2011). Bahkan hasil dari Sexual Wellbeing Global Survey 2007 - 2008 untuk wilayah Singapura menunjukkan bahwa 28% dari partisipan mereka yang berusia 55 tahun ke atas memerankan fantasi seksualnya dalam kehidupan nyata. Mewujudkan fantasi seksual dapat menjadi hal yang menyenangkan dan memberikan kepuasan tersendiri, namun perlu diperhatikan segi positif dan negatifnya, jangan sampai hal tersebut membuat pasangan merasa tidak nyaman, bertentangan dengan sistem nilai yang dianut, atau memiliki konsekuensi negatif tertentu.

 Terkadang fantasi tersebut terasa lebih menggairahkan saat masih berada dalam imajinasi, namun bisa jadi justru mengecewakan saat dicoba diwujudkan (Crooks & Baur, 2001). Kembali kepada pernyataan di awal tulisan ini, yaitu fantasi seksual dikatakan rentan terhadap penyimpangan, memang benar dalam beberapa kasus fantasi dapat mempengaruhi seseorang untuk bertindak dengan cara yang merugikan atau menyakiti orang lain, terutama dalam kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak dan juga orang dewasa (Crooks & Baur, 2011). Meskipun begitu, sekali lagi ditekankan bahwa fantasi yang melibatkan tindak pemerkosaan tidak selalu berujung pada pemerkosaan di dunia nyata. Leitenberg dan Henning (1995) mengatakan bahwa hanya 22% dari pelaku tindak pelecehan terhadap anak yang mengaku bahwa mereka berfantasi seksual tentang anak-anak sebelum mereka melakukan pelecehan tersebut untuk pertama kali. Leitenberg dan Henning juga menekankan bahwa fantasi-fantasi yang "tidak biasa" perlu mendapatkan perhatian khusus hanya jika fantasi tersebut mulai bersifat kompulsif atau eksklusif, atau jika fantasi tersebut dimiliki oleh individu yang "tidak dapat membedakan batasan antara pikiran (imajinasi) dan perilaku nyata". 

Daftar Pustaka 

Freud, S. (1962). Creative Writers and Daydreaming. In J. Strachy (Ed.), The Standard Edition of The Complete Psychological Works of Sigmund Freud (Vol. 9, pp. 142-152). 
London: Hogarth. (Original work published 1908). Leitenberg, H. & Henning, K. (1995). Sexual Fantasy. Psychological Bulletin, II7, 3, 469-496. Shulman, J. L., & Horne, S. G. (2006). Guilty or Not? A Path Model of Women as Sexual Force Fantasies.
The Journal of Sex Research, 43, 4, p. 368. Singer, J. L. (1966). Daydreaming. New York: Random House. Vance, C. V. (1989). 
Pleasure and Danger: Exploring Female Sexuality. London: Pandora. Zurbriggen, E. L., & Yost, M. R. (2004). Power, Desire, and Pleasure in Sexual Fantasies. The Journal of Sex Research, 41, p. 288. (2010, Juni). 
Sejak Dini Remaja Perlu Diberi Kespro. Diambil tanggal 6 Oktober 2011 dari http://www.bkkbn.go.id/Webs/index.php/berita/detail/1727

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI PENYULUHAN BKB EMAS

MATERI PENYULUHAN di Kelompok BKB ( Bina Keluarga Balita ) modul BKB Emas ( Eliminasi Masalah Anak Stunting) LANDASAN HUKUM 1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor : 42 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Percepatan perbaikan Gizi 2. Recana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018 Kesehatan dan Gizi masyaralat penurunan stunting menjadi salah satu prioritas Nasional 3. Petunjuk Teknis Program Prioritas Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2018 dan tahun 2019 MATERI PENYULUHAN : 1.  P enerapan Delapan Fungsi Keluarga pada 1000 HPK 2.  Kesehatan Fisik dan Mental Ibu Hamil dan menyusui 3 .  Pembiasaan PHBS bagi Ibu Hamil dan Baduta 4.  Stimulasi ( Rangsangan ) Perkembangan Anak pada masa 1000 HPK  5.  Meningkatkan peran Ayah dan anggota keluarga lainnya 6.  Pengasuhan yang tanggap  ( Cepat & Tepat ) terhadap keb...

Profil Lomba Penyuluhan Kader KB Desa Cembor

BAB I PENDAHULUAN Pada mulanya, program Keluarga Berencana di dunia timbul karena keprihatinan sekelompok orang terhadap kesehatan ibu di Inggris. Setelah itu, kesadaran untuk mengatur kehamilan dan kelahiran mulai tumbuh dan berkembang. Seperti dikutip dari bali.bkkbn.go.id , di Amerika Serikat, KB modern mulai diperkenalkan oleh Margareth Sanger. Pada tahun 1952, dia meresmikan berdirinya International Planned Parenthood Federation (IPPF). Sejak saat itu, perkumpulan-perkumpulan Keluarga Berencana mulai didirikan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang termasuk cabang IPPF tersebut. Sedangkan di Indonesia, seperti dijelaskan jurnalbidandiah.blogspot.com, perkembangan KB dimulai pada akhir 1960-an. Pada februari 1967, kongres PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pertama diadakan dengan tujuan agar program KB segera direalisasikan oleh pemerintah. Selanjutnya, pada April 1967, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mulai mencanangkan KB secara resmi di Jakarta raya...

PROFIL BALAI PENYULUHAN KB kec. Dlanggu

PROFIL BALAI PENYULUHAN KB KECAMATAN DLANGGU KABUPATEN MOJOKERTO PROVINSI JAWA TIMUR 2019 Profil Balai Penyuluhan KB Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto Foto Balai Penyuluhan KB Kec.Dlanggu Tempat dan alamat balai penyuluhan : Balai Penyuluhan KB kecamatan Dlanggu berada di dalam area kantor kecamatan Dlanggu. Tepat nya berada di jalan Jendral A.Yani no.09 Dlanggu.                   Foto di ambil dari gambar screenshoot google map. STRUKTUR ORGANISASI BALAI PENYULUHAN KB KEC. DLANGGU SUHARNI, S.Sos NIP. 19650620 198803 2 011 KOORDINATOR PKB KEC. DLANGGU SUTARMINI, S.Sos NIP. 19591211 198503 2 010 PKB KEC. DLANGGU MOKH. LUKHMAN NULHAKIM, ST NIP. 19790207 200604 1 013 PKB KEC. DLANGGU MOH. NAJMUD...